Talking 'bout dreams.
Semua orang punya
mimpi, cita-cita. Toh, bercita-cita itu gampang. Cuma perlu bilang,
'Cita-citaku pengin jadi Dokter'. Seperti kita waktu kecil jika ditanya kalau
gede nanti mau jadi apa. Tapi pertanyaannya, apakah segampang itu menggapai
cita? Oh, jangan ke situ dulu. Apakah orang-orang mau menerima cita-citamu?
Jangan orang lain deh, orang-orang terdekatmu. Keluarga, misalnya.
Aku hidup di antara
orang-orang yang hanya menyerukan, 'Tiap orang mesti punya cita-cita!', 'Ayo
bermimpi, usaha!' Ya, mereka hanya menyerukan itu, tanpa mau tahu prosesnya.
Aku nggak mengerti
cita-cita seperti apa yang mereka maksud. Proses apa yang mereka ingin.
Mereka bilang aku
produk gagal, nggak punya masa depan, nggak punya cita-cita.
Padahal, aku sedang
memperjuangkan apa yang selama ini kuimpikan. Oke, dalam hal ingin aku ingin
menjadi seorang pencerita. Jangan salahkan aku jika aku nggak mengatakan apa
cita-citaku. Sebab, kembali ke pertanyaan di atas, apa mereka akan menerima?
DREAM, Believe and
Make It Happen! Itu yang membuatku terus semangat. Bersamaan dengan quote's
lainnya dari Ms. Mo.
Aku berusaha untuk
nggak down dalam proses panjang ini. Dan terus mewaraskan diri sendiri.
Mereka pikir aku nggak
ikhtiar? Membiarkan impianku hanya sebatas angan? Ah, kalau saja nggak ada yang
namanya proses.. sekali lagi, nggak ada yang mudah. Tapi nothing is impossible.
Sejauh ini, mimpiku
nggak stuck. Aku memiliki list dalam impianku. Dan goal tertinggiku adalah
menembus GM. Sejauh ini, proses panjangku nyaris menemukan titik terang. Aku
menjadi bagian GWP3. Meski nggak menang, tapi aku dapat kesempatan emas untuk
merevisi naskah. Artinya, jalanku menuju goal tinggal selangkah lagi.
Karena impianku,
mengharuskanku berhubungan dengan impianku itu: baca, nulis, baca, nulis, buku,
komputer, ms. Word. Dan soal buku, itu bukan untuk gaya-gayaan atau 'kayak
orang kantoran', tapi buku-buku adalah investasi masa depan.
Kalau menyerukan
mimpi, harusnya bisa menerima apa pun mimpi orang itu.
Dan seharusnya
keluarga adalah barisan terdepan dalam menjadi pemandu sorak. Bukan malah
membuat down. Dan sekali lagi, apakah harus bilang bahwa buku dan baca itu
adalah hal yang nggak penting?
Sebenernya aku
bingung. Ridho (ilahi) seperti apa yang dimaksud? Apakah memiliki mimpi jadi
seorang pencerita itu nggak boleh?
Aku nggak nuntut
apa-apa. Kalaupun nggak mendukung, nggak masalah. Tapi apakah perlu men-judge?
Kalau ada yang bilang,
'kenapa nggak cerita? Kenapa nggak bilang?', apakah kalau aku cerita, akan
didengarkan?
No comments:
Post a Comment