pic: https://i.pinimg.com/originals/9c/08/34/9c0834ec7709ae372c10e19b43ac18d2.jpg |
“Kau baik-baik saja, Marissa?”
Marissa
mendongak ke arah suara berasal. Dengan mata merah dan air mata yang meleleh
keluar dari sudut mata, bergantian ia menatap empat wajah yang duduk di
dekatnya. Jelas, wajah-wajah yang dipenuhi kekhawatiran. Setelah beberapa detik
bergeming, Marissa menjawab, “Bagaimana mungkin aku baik-baik saja? Aku baru
saja gagal menikah.”
“Tetapi
kau tak boleh berlarut-larut dalam kesedihan, Mar.” Amanda meraih tangan Marissa,
menggenggamnya erat-erat. “Hidup terus berjalan.”
“Kau
harus melupakan Miko, Mar,” tambah Nathan. “Aku yakin kau bisa melupakannya.”
Marissa
tidak menjawab dan terus menangis. Sementara Daniel dan Deva bergeming.
“Kalian
bisa berbicara seperti itu karena kalian tidak merasakan apa yang aku rasakan.”
Amanda
agak terkesiap. Seketika, ia melepaskan genggamannya dan menjauhkan tangannya
dari tangan Marissa. Ia menghela napas pelan, lalu menatap Nathan sambil
mengedikkan bahu. Nathan membalasnya dengan gelengan pelan
***
Mereka.
Adalah manusia yang awalnya tidak saling mengenal dan dipertemukan karena
kegilaan mereka terhadap kopi. Sudah dua tahun terakhir mereka berkeliling
dunia untuk mencipipi kopi-kopi terbaik dunia. Dan kali ini, agenda mereka
adalah keliling Indonesia.
Bali.
Menjadi tujuan utama mereka.
“Kalian
tahu,” kata Nathan antusias. “Kopi ini sudah mendapatkan sertifikasi Indikasi
Geografis dari CIRAD atau Centre de Cooperation en Recherches Agronomiques pour
le Developpement. Pusat Kerjasama dalam Penelitian Pertanian untuk Pembangunan
Internasional di Perancis sebagai kopi unik yang berasal dari Bali.”
Dengan
wajah ngiler, Amanda, Marissa, Daniel dan Deva buru-buru meraih cangkir
masing-masing.
Amanda
menyesap kopi bernama kintamani itu, pelan-pelan. Hidungnya tidak mau
menyia-nyiakan aroma kopi yang menggugah selera itu. Seketika, mata cokelatnya
terbelalak setelah menyesap minuman itu. Pemandangan yang sama pun terlihat di
wajah Marissa, Daniel dan Deva.
“Unik,
kan?” tanya Nathan.
“Shit,
Man,” seru Daniel. “Ini... Damn it!” ia menyeruput kopi itu lagi. Kali ini
lebih antusias.
“Benar-benar
unik,” komentar Deva. “Kenapa tak dari dulu saja kita ke Bali dan mencicipi
kopi ini?”
“Aku
tak tahu harus menyebutnya aneh atau unik,” Marissa ikut berkomentar. “Tapi
rasa lemon di kopi ini sangat mengejutkan. Dan… aku suka. So fresh!”
“Ya,
aku setuju,” tambah Amanda. “Rasa jeruk di kopiku ini benar-benar unik.
Menyegarkan. Aku seperti sedang meminum dua minuman sekaligus. Tetapi kalau dua
minuman berbeda dan dicampur, belum tentu seenak ini.”
“Ini
baru kopi dengan cita rasa yang tinggi,” kagum Deva.
“Ya,
itu karena para petani kopi kintamani memiliki kepedulian yang tinggi tentang
tata cara petik pilih selama panen," jelas Nathan. "Artinya, mereka
hanya memetik gelondong merah saja secara manual dan dipilih secara seksama
dengan persentase gelondong merahnya 95 persen. Dan selanjutnya diolah secara
basah dengan fermentasi selama dua belas jam atau tiga puluh enam jam serta
dikeringkan secara alami dengan cara dijemur. Tidak akan ada cacat rasa yang
signifikan karena para petani kintamani pun telah mempraktekkan prinsip-prinsip
good manufacturing practices.”
“Nathan,”
Daniel menatap Nathan lurus-lurus. “Kalau kau sudah tahu tentang kopi kintamani
ini, kenapa baru ajak kami ke sini sekarang?”
“Iya,”
Deva menyetujui. “Kenapa?”
Dalam
beberapa saat, Nathan tidak menjawab. Ia malah tertawa geli memandangi empat
air wajah kesal tesirat kagum yang tengah memerhatikannya itu. Lalu, dengan
suara menggoda ia menjawab, “Dia yang
memberitahuku.”
Empat
pasang mata itu langsung mengikuti arah yang dilirik Nathan. Seorang pria
seusia mereka, berusia dua puluh enam tahun, tengah sibuk meramu kopi-kopi
pesanan pengunjung di meja panjang itu.
Kening
Amanda berkerut samar. “Kau kenal dia?” tanyanya ke Nathan.
Tiga
pasang mata lain langsung tertuju ke Nathan. Tetapi Nathan tidak menjawab,
hanya tersenyum simpul.
***
“Kalian
membuatku cemburu,” tukas Amanda pada Daniel dan Deva yang sedang duduk-duduk
di sisi kolam renang. Kaki kedua pria itu dibiarkan tenggelam dalam air dingin
itu.
“Ah,
kau tidak usah bersikap seperti itu,” jawab Daniel. “Kalau kau mau kau bisa
duduk di antara kami,” lalu ia mengangkat tubuh dan sedikit menjauh dari tubuh
Deva. “Sini!”
Amanda
semringah. “Memangnya boleh?” tanyanya sarkastis. “Lihat tuh, kekasihmu
cemberut,” ia melirik Deva yang memang sudah merengut. “Ah, sudahlah. Lebih
baik aku bersama Nathan dan Marissa saja. O ya, omong-omong di mana mereka?”
***
“Aku
tidak tahu harus berbuat apalagi, Nath?” Marissa menangis. “Segala cara sudah
kucoba. Aku menerima ajakkanmu untuk datang ke sini pun berharap agar aku bisa
melupakan Miko. Tetapi semakin aku coba aku malah semakin merindukannya. Aku
tidak bisa melupakannya, Nathan.”
Sekilas,
Nathan menatap wajah berderai airmata di sebelah kanannya, lalu kembali menatap
ke depan. “Sebenarnya kau bisa, Mar,” Ia menghela napas. “Hanya saja... kau
tidak mau."
Amanda
berdiri di ambang pintu. Sudah berapa lama ia di sana, berdiam diri memerhatikan
Nathan dan Marissa yang duduk di tangga kecil di depan penginapan itu?
“Aku
tahu Miko adalah pria yang sangat kau cintai,” lanjut Nathan. “Yah... kuakui
dia memang baik, bahkan menurutku dia adalah pria sempurna. Karena dialah kita
bertemu dan bisa berkumpul untuk berburu kopi ternikmat di dunia ini. Dan
karena dia pula yang membuat kita berada di sini, sekarang. Dia tidak mau kita
berhenti memberi ulasan tentang kopi-kopi terenak yang pernah ada. Tetapi kau
perlu ingat, Mar. Miko tidak akan senang melihatmu berlarut-larut dalam
kesedihan. Air matamu malah akan menyiksanya di surga.”
“Kenapa
kau bicara seperti itu, Nath?” tanya Marissa di sela-sela tangis.
Nathan
mengembuskan napas, kecewa. “Aku hanya berusaha membuatmu tenang,” jawabnya. “Jujur,
aku tidak suka melihatmu terus-terusan menangis.”
***
Amanda
termangu duduk sendirian di sisi kolam renang. Matahari yang mulai naik tidak
mengecohnya atau membuatnya bergegas menjauh dari tempat itu. Meskipun sengatan
sinar sang surya itu menabrak langsung ke wajahnya.
Amanda
teringat kejadian tadi malam. Di mana ia melihat Nathan dan Marissa duduk
bersama. Ia tidak cemburu melihat pemandangan itu. Ia menganggapnya hal yang
wajar. Marissa butuh penyemangat untuk bisa move on dari Miko. Dan Nathan,
adalah tipe sahabat yang bisa menenangkan kegelisahan hati siapa pun, termasuk
Amanda. Tetapi, ciuman itu. Ciuman Nathan ke Marissa. Ciuman Marissa ke Nathan.
Ia tidak bisa terima. Hati wanita mana yang tidak sakit melihat kekasihnya
mencium wanita lain, tepat di depan matanya. Apalagi wanita lain itu adalah
sahabatnya sendiri.
Jelas,
Amanda kecewa.
Pada
keduanya.
***
“Amanda,
kau kenapa?” tanya Deva penuh hati-hati. “Nathan bilang kau tidak ingin bicara
padanya. Apa kau marah?”
Amanda
tidak bergerak. Ia berbaring memunggungi Deva dan Daniel yang duduk di sisi
kasur lain.
“Apa
kau sakit?” tanya Daniel.
Ya,
aku sakit. Hatiku sakit. “Tidak,” sangkal Amanda. “Aku hanya ingin tidur siang.”
Deva
dan Daniel menukar pandang. Mereka bingung harus berbuat apa menghadapi situasi
tidak mengenakkan itu.
***
Akhir
pekan segera berakhir. Esokknya, mereka memutuskan kembali ke Jakarta.
Ulasan
mereka tentang kopi kintamani sudah dimuat di blog Cangkir Kopi. Pun, dengan
Vblog yang sudah mereka upload di youtube. Jelas, mereka dapat respons baik dari
pengikut blog dan youtube mereka.
Tetapi
dua bulan kemudian, para pengunjung blog mereka menagih ulasan lain tentang
kopi terenak di Indonesia, mengingat ulasan kopi kintamani adalah ulasan
pertama untuk kopi Indonesia. Para pengunjung blog dan channel Vblog pun
meminta ulasan baru. Sebagian bertanya-tanya kenapa sampai dua bulan berlalu,
mereka belum juga membuat ulasan baru.
“Kau
yang bicara dengan Amanda,” kata Deva. “Aku takut salah kata.”
Daniel
tersenyum geli melihat wajah ketakutan kekasihnya itu. Ia mencubit gemas pipi
pria itu. “Kalau kau memasang tampang menggemaskan seperti ini terus, aku malah
jadi takut.”
Deva
mengernyit. “Kenapa?”
“Aku
takut tak bisa menahan diri,” jawab Daniel.
“Kau
ini,” Deva memukul lembut lengan Daniel. “Sudahlah. Biarlah aku saja yang
bicara.” Lalu ia buru-buru keluar dari sedan hitam itu.
***
“Apa
ini semua karena aku?” tanya Marissa takut-takut.
Nathan
mendongak, menatap sekilas wajah wanita sunda itu sambil terus mengaduk-aduk
cappucinno-nya. “Aku yakin Amanda tahu tentang malam itu.”
Mengerti
arah ucapan Nathan, Marissa menelan ludah. Tetapi kali ini ia merasa seperti
menelan pecahan kaca. Perlahan, ia menjatuhkan pandangan dan berkata, “Aku yang
salah. Seharusnya aku bisa menahan diri. Seharusnya aku menolak ciuman itu.” Ia
menghela napas. “Maafkan aku.”
***
“Maaf,
aku tidak bisa bergabung sama kalian lagi,” Amanda beringsut dari sofa dan
melangkah ke pintu kaca yang menghadap langsung ke taman mini di sisi rumahnya.
“Tapi
kenapa Amanda?” tanya Daniel. “Apa alasannya? Kita sudah melakukan ini nyaris
tiga tahun. Lagipula... bukannya ada Nathan…,”
“Justru
itu,” sela Amanda buru-buru. “Karena ada dia aku tidak bisa bergabung lagi. Aku
tidak ingin melihat wajah pria itu lagi.”
“Apa...,”
gumam Deva ragu-ragu. “Kalian sudah putus?”
Amanda
tidak menjawab. Ia memerhatikan taman mini itu tanpa fokus berarti.
“Sebenarnya
apa yang terjadi di antara kalian?” Suara Daniel mulai meninggi. “Apa tidak
bisa diselesaikan tanpa harus ada yang keluar?”
“Tidak
bisa,” geram Amanda. “Keputusanku sudah bulat. Aku keluar.”
“Iya!”
Tanpa sadar suara Daniel kian meninggi, nyaris berteriak. Ia bangkit dari
duduknya dan menatap punggung Amanda dengan tatapan kesal. “Tapi kenapa? Beri
kami alasannya biar kami!”
“Dia
selingkuh!” teriak Amanda sambil memutar tubuh menghadap dua pria itu. “Mereka
ciuman di depan mata kepalaku sendiri. Nathan dan Marissa. Mereka
mengkhianatiku!”
Daniel
dan Deva terkesiap ngeri. Sampai-sampai mereka tidak bisa berkata apa-apa.
***
“Kalian
harus meminta maaf ke Amanda,” kata Daniel sambil bergantian menatap Nathan dan
Marissa yang menjatuhkan pandangan. “Apa pun alasannya, di sini kalian berdua
yang salah. Kalau kalian masih ingin kita berburu kopi bersama-sama, lakukan
itu. Kalau pun kalian tidak mau, aku anggap masalah selesai. Dan kita bubar.”
Seketika
Nathan mendongak, menatap Daniel lurus-lurus.
“Sejujurnya
aku tidak mau kita bubar,” kata Deva. “Kita sudah melangkah jauh. Kalian masih
ingat alasan kita dipertemukan karena apa? Kita sama-sama penggila kopi. Kita
sudah menghabiskan tiga tahun untuk itu. Apa kalian rela melepaskan apa-apa yang
sudah kita rajut selama ini?” Deva menatap Nathan dan Marissa dengan mata
berkaca-kaca. “Aku mohon. Mengalahlah. Bukan untuk aku dan Daniel. Tapi untuk
kita berenam. “
***
“Maafkan
aku, Amanda,” Marissa memeluk tubuh sahabatnya erat-erat. Pipinya sudah basah
oleh lelehan airmata. “Aku tahu aku salah sudah mengacaukan hubungan kalian.
Seharusnya aku tidak melakukan itu. Aku terlalu bodoh. Aku jahat sama kamu.
Maafkan aku.”
Awalnya
Amanda tidak bereaksi apa-apa. Bahkan ia tidak balas memeluk tubuh sahabatnya
itu. Sudah delapan bulan berlalu. Ya, sudah terlalu lama untuk menyimpan
kebencian dan kekecewaan. Amanda tahu ia harus mengakhiri semuanya. Setiap
orang berhak mendapat kesempatan kedua. Begitu pun dengan Marissa dan Nathan.
“Maafkan
aku, Amanda,” ulang Marissa sambil terisak. “Maafkan aku...”
Daniel
dan Deva berdiri tidak jauh dan hanya diam memerhatikan.
Amanda
mengangguk. Lalu tangannya terangkat dan mulai balas memeluk tubuh Marissa. “Iya,
Mar,” katanya dengan mata berkaca-kaca. “Aku sudah maafkan kamu.” Airmata pun
meleleh dari mata cokelat wanita itu.
Sepasang
sahabat itu semakin mengeratkan pelukan. Mereka menangis bersama.
Kehangatan
yang sudah lama mereka rindukan.
Nathan
berdiri di ambang pintu rumah Amanda. Dengan langkah seolah hati-hati, ia
menghampiri dua wanita itu. Melihat kehadiran Nathan, Marissa melepaskan
pelukannya dan berbisik lirih ke Amanda, “Nathan.”
Seketika
Amanda memutar tubuh. Ia menyeka air mata dan mulai mengangkat tungkai
jenjangnya perlahan. Dalam sekejap, Nathan dan Amanda sudah hangat dalam sebuah
pelukkan.
Sebuah
pelukkan yang mereka rindukan
Berkali-kali
Nathan meminta maaf ke Amanda. Ia mengakui kesalahannya. Ia mengakui dosanya.
Ia mengakui kebodohannya. Meski Amanda sudah menerima maafnya, tetapi Nathan
terus mengulang permintaan maafnya. Dan kali ini dibarengi oleh air mata.
***
Mereka
kembali.
Nathan,
Amanda, Marissa, Daniel dan Deva bersiap untuk buruan berikutnya. Mereka sempat
membuat Vblog untuk menyebarkan kabar
gembira itu pada semua followers yang masih setia dan menunggu ulasan mereka
selanjutnya.
Tetapi
satu yang tetap mereka sembunyikan. Alasan kenapa mereka sempat vakum.
Followers tidak perlu tahu masalah internal yang terjadi.
Yang
jelas, mereka sudah kembali seperti dulu. Meski tanpa Miko.
“Selanjutnya
ke mana?” tanya Daniel antusias. Ia duduk di sofa dan Deva menjadikan paha
Daniel sebagai bantal empuk untuk berbaring. “Aku tidak sabar ingin mencecap
kopi terenak selanjutnya.”
“Bagaimana
kalau kita ke Bali lagi?”
Sekonyong-konyong
Deva memberi ide, yang langsung tidak disetujui oleh Daniel. “Kita harus ke tempat
yang lain,” katanya sambil mencubit gemas hidung Deva. “Memangnya kamu tak mau
pacaran di tempat yang baru?”
Belum
sempat Deva menjawab, Amanda langsung angkat suara. “Bisa tidak kalian hentikan
itu?” tanyanya sambil menunjuk Daniel dan Deva. “Apa kalian tidak sadar kalau kalian
membuat kami bertiga iri?”
Daniel
dan Deva menukar pandang sebentar, lalu terkekeh.
“Guys!”
seru Nathan. “Ada follower yang
menyarankan kita ke Aceh. Katanya di sana kopinya tak kalah enak,” Ia menatap
bergantian empat wajah sahabatnya.
“Aceh?”
tanya Marissa nyaris tidak bersuara. “O ya, aku pernah dengar. Kalau tidak
salah... nama kopinya Gayo.”
Deva
mengangkat tangannya tinggi-tinggi tepat di depan wajah Daniel. “Aku setuju!”
Daniel
berdecak sambil menepis lembut tangan Deva. “Tanganmu nyaris mengenai wajahku,
tahu?” katanya, lembut, yang langsung disambut kekehan pelan dari Deva.
“Aku
juga setuju!” seru Amanda.
“Aku
juga,” kata Marissa.
Nathan
tersenyum puas. “Oke, karena semua setuju, minggu depan kita terbang ke Aceh.”
Selesai
Cerpen ini saya tulis setahun lalu untuk keperlukan lomba--dan tidak menang. Huhu.
No comments:
Post a Comment